Seperti biasa pada saat memulai pagi sebelum tenggelam akan satu rutinitas yang kita jalani untuk hari ini. Sejenak membaca satu tulisan CM dibawah ini
Anak-anak pun lulus sekolah, gembira karena terbebas dari beban, lega karena mereka sudah “menyelesaikan pendidikan”. Buku-buku pelajaran sekolah ditutup dan, seringkali, proses belajar juga dianggap berakhir. Mereka terjun bergelut dengan aneka pekerjaan praktis di masyarakat dan banyak yang akal budinya tetap kerdil dan gelap sampai akhir hayatnya.
– Saduran “Parents as Inspirers” yang ditulis oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 2 1891/1892 (30)
Untuk didiskusikan: Apakah dirimu dulu juga (pernah) menganggap “lulus sekolah = pendidikan sudah selesai”? Benarkah orang-orang yang punya anggapan itu rentan “tetap kerdil dan gelap” akal budinya saat mereka terjun ke dunia kerja? Mengapa?
***
Tulisan ini seakan menggelitikku apa yang telah terlewati seakan terangkat kembali. Ya disaat dulu kita sekolah, hal ini sangatlah benar adanya. Selepas ujian seakan selesai sudah tanggungjawab untuk belajar dan bebanpun mampu sejenak hilang seketika. Kenapa kondisi ini terjadi bertahun-tahun kita rasakan dan tidak mampu kita keluar dari kondisi yang baru tersadarkan saat ini.
Tentu kita tidak ingin terjerat pada satu lingkaran yang sama kembali atau ketidakmampuan kita untuk mencari solusi terbaik yang sangat mungkin kita lakukan saat ini.
Bukan kita meniadakan satu ikhtiar yang sudah terlewati. Ada satu benang merah yang coba kita telusuri satu persatu dengan kembali bertanya jujur kedalam diri kita.
Selama ini didalam konsep berpikir kita, belajar adalah proses yang dilakukan di sekolah. Padahal dalam kenyataannya kita tidak mendapat banyak dalam proses sekolah yang kita lakukan bertahun-tahun. Kehidupan justru dimulai pada saat kita sadar ternyata dari kehidupan kita banyak belajar. Proses yang kita masuki di awal bekerja menjadi moment perbaikan, seakan tersadar tidak saling terkait antara apa yang kita dapati dalam mencari ilmu di bangku sekolah dengan dunia nyata.
Tentu kita tidak ingin anak-anak kita mengulangi satu bentuk kesalahan diri kita atau menempuh jalan panjang untuk menyadari satu hal penting didalam hidupnya. Dari tulisan diatas kita diingatkan bahwa akal budi sangatlah menjadi ukuran dalam kita berproses menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bahagia dalam menjalani kehidupan yang Allah telah amanahi untuk kita sebagai manusia.
Dari mana proses bertumbuhnya akal budi diri atau anak-anak kita?
Bagaimana prosesnya hingga kita mendapati hasil yang maksimal didalam prakteknya?
Apa yang dimaksud dengan akal budi ditulisan ini?
Akal budi menautkan kata akal dan budi. Akal yang kita kenal adalah pikiran. Sedang budi seringkali kita menautkan pada bentuk tindakan yang berangkat dari dalam hati kita.
Dalam pendekatan CM ada beberapa penekanan yang disampaikan berulang Mrs. Mason dengan perumpamaan makanan. Sejatinya manusia untuk bertumbuh bukan hanya fisiknya tetapi sisi spiritual pun harus menjadi perhatian diri kita. Fisik kita butuh makanan untuk bertumbuh, begitupun sisi spiritual kita dengan ditandai dengan bertumbuhnya pikiran/akal budi kita.
Makanan begitu banyak aneka rupa. Begitu banyak pilihan, akankah kita mengambil semuanya atau kita memilih yang terbaik. Hingga akhirnya kita diajak untuk berpikir, makanan seperti apakah yang mampu menyehatkan fisik dan spiritual kita.
Komentar
Posting Komentar